Kisah Hilal Aljajira : Usus 2X Dipotong Karena Mie Instan
Ditengah murahnya makanan ‘praktis’ di Indonesia, ternyata menyimpan begitu banyak ‘racun’ berbahaya bagi tubuh
manusia. Tidak sedikit bahan makanan yang cepat (praktis) dengan rasa enak berbahan kimiawi addictive, yang kini telah menggeser ‘kewajiban’ kita untuk menyediakan makanan sehat bagi tubuh kita. [cat: bukan kimiawi, karena semua benda adalah tersusun dari unsur kimiawi). Bahan-bahan addictive tersebut yang umum adalah MSG (monosodium glutamat) sebagai perisa makanan, natrium benzoat (sodium benzoat) sebagai pengawet, berbagai pewarna makanan (esp. pewarna tekstil), sakarin, siklamat, aspartam dan sorbitrol sebagai pemanis buatan dan masih banyak lagi. Yang mana bahan-bahan kimiawi addictive tersebut berbahaya karena menyerang sel saraf (seperti kanker) seperti MSG, menyerang hati dan ginjal (peawarna, pemanis, pengawet), atau natrium benzoat yang biasanya digunakan untuk racun tikus.
Dan konsumen utama dari bahan-bahan makanan serta minuman berbahaya ini adalah anak-anak usia sekolah (TK hingga SMA), bahkan orang dewasa. Padahal, organ-organ tubuh masih sangat rentan karena masih dalam pertumbuhan ketika masih berusia kanak-kanak. Salah satu korban adalah Hilal Aljajira, bocah 6 tahun yang harus menjalani tiga kali operasi.
Oleh: ech-wan (nusantaraku)
Kisah Hilal Aljajira : Usus 2X Dipotong Karena Mie Instan
Disadur dari Tabloid Nova (1 dan 2)
Maksud hati membantu suami menambah penghasilan, apa daya anak jadi korban. Akibat kerap meninggalkan buah hatinya, Hilal Aljajira (6), Erna Sutika (32) kini harus menelan pil pahit. Usus Hilal bocor dan membusuk hingga harus dipotong. Rupanya tiap hari Hilal hanya menyantap mi instan karena di rumah tak ada orang yang memasakkan makanan untuknya.
Saat usia Hilal menginjak 2 tahun, aku memutuskan bekerja, membantu keuangan keluarga mengingat penghasilan suamiku, Saripudin (39), kurang mencukupi kebutuhan keluarga. Aku bekerja di perusahaan pembuat bulu mata palsu, tak jauh dari rumah kami di Garut. Setiap berangkat kerja, Hilal kutitipkan ke ibuku. Di situ, ibuku kerap memberinya mi instan. Bukan salah ibuku, sih, karena sebelumnya, aku juga suka memberinya makanan itu jika sedang tidak masak.
Ternyata Hilal jadi “tergila-gila” makanan itu dan akan mengamuk serta mogok makan jika tak diberi mi instan. Ya, daripada cucunya kelaparan, ibuku akhirnya hanya mengalah dan menuruti kemauan Hilal. Lagipula, kalau tidak diberi, Hilal pasti akan membeli sendiri mi instan di warung dekat rumah dengan uang jajan yang kuberikan. Praktis, sehari dua kali ia makan mi instan.
Dua Kali Dipotong
Kamis, 20 November 2008, Hilal mengeluh sakit perut. Kupikir sakit biasa. Anehnya, setelah tiga hari, sakitnya tak kunjung hilang dan ditambah ia tidak bisa buang air besar. Gara-gara itulah perutnya membesar.
Khawatir, kubawa Hilal ke mantri dekat rumah. Karena tetap tidak ada perubahan, kami kemudian membawanya ke RSU Dr. Slamet, Garut. Ternyata hasil pemeriksaan dokter lebih menyeramkan dari yang kuduga. Kupikir, cukup dengan obat pencahar perut, sakit Hilal bisa segera sembuh. Rupanya tak segampang itu.
Hasil tes darah dan rontgen memperlihatkan, Hilal harus segera dioperasi karena beberapa bagian di ususnya bocor dan membusuk. Ketika kutanyakan apa penyebabnya, dokter menjawab, akibat dari kandungan makanan yang Hilal konsumsi selama ini tidak sehat dan membuat ususnya rusak. Saat itulah kutahu Hilal terlalu sering menyantap mi instan. Astagfirullah…
Atas rujukan dokter, kami kemudian membawa Hilal ke RS Hasan Sadikin, Bandung, dengan alasan peralatan medis di RS itu lebih lengkap. Sejak awal, tim dokter sudah pesimis dengan kondisi Hilal yang begitu memprihatinkan dengan berat badan yang tidak sampai 11 Kg. Dokter juga bilang, dari puluhan kasus serupa, hanya tiga orang yang bertahan hidup. Aku hanya bisa berserah pada Allah SWT.
Baru 25 November 2008 operasi dilakukan di RS Immanuel, Bandung. Saat itu aku sedang hamil tiga bulan. Dokter mengamputasi usus Hilal sekitar 10 cm. Untuk menyatukan bagian usus yang terputus itu, dokter menyambungnya dengan usus sintetis. Selain itu, dokter juga membuat lubang anus sementara (kolostomi) di dinding perut sebelah kanan.
Utang Belum Lunas
Ternyata cobaan kami belum berakhir sampai di situ. Tiga hari kemudian, dokter menemukan masih ada bagian usus yang bocor. Mau tidak mau, Hilal harus kembali naik ke meja operasi dan merelakan sebagian usunya lagi.
Jelas, aku dan suami sangat ingin Hilal sembuh. Namun di sisi lain, penghasilanku sebagai buruh tidaklah seberapa. Setiap bulan, aku hanya bisa membawa pulang uang Rp 250 ribu atau Rp 300 ribu kalau lembur. Sedangkan suamiku, penghasilannya tidak pernah menentu. Maklum, ia hanya kuli kasar di pabrik tahu di Bandung.
Sejak Hilal jatuh sakit, aku memutuskan berhenti bekerja. Alhasil, suamiku harus banting tulang mengerjakan pekerjaan apa pun asal menghasilkan uang. Kendati sudah bekerja begitu keras, rasanya sia-sia saja. Biaya operasi Hilal yang mencapai Rp 16 juta, terasa begitu besar dan entah kapan bisa dilunasi. Apalagi kami hanya punya waktu 10 hari untuk melunasinya. Untung pihak rumah sakit berbaik hati memberi kelonggaran waktu dua hari, sehingga kami masih sempat meminjam uang ke beberapa keluarga dan tetangga.Demi kesembuhan Hilal pula, kami harus lebih berhemat. Rumah kontrakan kami tinggalkan dan kami menumpang di rumah orangtuaku. Sebenarnya uang kontrakan rumah itu tidak terlalu besar, hanya Rp 300 ribu pertahun, tapi tetap saja uang sebesar itu sangat berarti untuk biaya pengobatan Hilal.
Kata dokter, kolostomi di perut Hilal sudah bisa ditutup setelah tiga bulan. Namun baru setelah 8 bulan kemudian, tepatnya 23 Juli 2009 lalu, operasi penutupan dilakukan. Apalagi kalau bukan masalah biaya. Itu pun bisa dilakukan karena kami dapat bantuan dari sebuah stasiun televisi swasta sebesar Rp 14 juta.
Soal utang ke keluarga dan tetangga sebesar Rp 16 juta, entah kapan bisa kami selesaikan. Kepalaku jadi tambah pening bila mengingat, sebentar lagi si sulung, Panda Erdini (11), akan masuk SMP.
Sejak ususnya yang busuk dipotong, Hilal tidak lagi merasakan sakit pada bagian ususnya. Celakanya, rasa sakit justru berpindah ke bagian kolostominya. Setiap kali habis makan, makanan itu pasti langsung keluar melalui lubang anus buatan itu. Saat itulah dinding perutnya merasakan sakit yang luar biasa. Ia bisa menangis menjerit-jerit kesakitan.
Belum lagi plastik yang menempel untuk menampung feses yang penuh dan harus diganti dengan yang baru. Double tape yang sering kali dilepas dan dipasang, membuat kulit perutnya iritasi dan perih.
Jika sudah tak bisa menahan sakitnya, Hilal akan berujar, “Udah Hilal paeh aja! (Hilal lebih baik mati saja!)” Kadang juga ia berteriak minta maaf kepada Allah dan minta disembuhkan sambil mengatupkan kedua tangannya. Kasihan anakku.
Setiap hari, selama delapan bulan itu, ia hanya menghabiskan waktunya di tempat tidur. Hilal hanya mampu berjalan beberapa menit saja karena jika terlalu lama ia pasti langsung merasakan sakit di bagian kolostominya. Setiap malam, ia juga harus tertidur dengan paha diangkat menyentuh ke perutnya. Katanya, terasa enak dan membantu menahan rasa sakitnya.
Kapok Makan Mi
Agar ia tidak merasa bosan di kamar seharian, aku mengalihkan rasa sakitnya dengan mengajarinya membaca. Awalnya, sih, sekadar membacakan buku-buku cerita untuknya, tapi lama-kelamaan ia merasa tertarik untuk membaca. Aku dan Panda bergantian mengajarinya. Tidak terasa, saat ini ia sudah lancar membaca, lo.
Memang, sebetulnya Hilal anak yang sangat pintar dan aktif. Sebelumnya ia tidak pernah sakit dan sangat penurut. Namun, sejak kelahiran adiknya dua bulan lalu, Ilham Haki, ia menjadi lebih manja padaku. Ia melarangku menggendong dan menyusui adiknya. Aku, sih, maklum saja karena dia masih sakit dan mungkin takut rasa sayangku direbut oleh adiknya.
Sekarang Hilal sudah bisa berjalan lagi. Memang, sih, masih sedikit bongkok, tapi aku yakin dalam waktu dekat ia bisa berdiri dan berjalan dengan sempurna. Katanya, ia ingin segera sekolah.
Yang membuatku lega, sejak sakit itu, Hilal trauma dengan mi instan. Bahkan melihatnya saja, dia seakan tak sudi. Beda dengan dulu, sekarang ia sangat senang mengonsumsi makanan sehat, seperti sayur, daging, buah, dan susu. Susu memang dianjurkan dokter untuk membantu memperbaiki kondisi dan kinerja ususnya.
Mudah-mudahan ia bisa segera sembuh dari sakitnya dan menjadi anak yang pintar serta berprestasi di sekolahnya nanti. -Ester Sondang-
Pelajaran
Dari berbagai sumber tidak resmi, kita disarankan untuk tidak mengonsumsi mie instan lebih 1 kali dalam 3 hari. Artinya rata-rata mie instan yang masih diperbolehkan untuk dikonsumsi agar tubuh ‘aman’ adalah 2 bungkus per minggu. Salah satu hal yang menjadi pertimbangan medis karena mie instan mengandung lapisan lilin yang mana organ tubuh memerlukan waktu lebih dari 2 (dua) hari untuk membersihkan lilin tersebut dari sistem pencernaan kita. Lapisan lilin sengaja dilapisi pada mie instan hanya karena agar Mi Instan tidak lengket satu sama lainnya ketika dimasak.
Selain lapisan lilin tersebut, mie instan mengandung bahan pengawet yang berpotensi besar menyebabkan kanker dan melukai usus sehingga terjadi pembusukan yang berakhir bocor. Bila frekuensi konsumsi mie instan meningkat, maka organ tubuh akan ‘kelelahan’ menetralkan racun, sehingga dalam beberapa kondisi akan terjadi pengendapan bahan pengawet di usus halus bahkan menyentuh ke usus besar lalu anus. Sudah banyak kisah orang yang menderita kanker atau usus dipotong gara-gara hampir tiap hari ‘rutin berlangganan’ mie instan.
Bukan hanya mie instan, makanan-makanan yang banyak mengandung bahan pengawet, perasa, dan pemanis memiliki potensi yang sama. Sebut saja beberapa minuman sakatonik atau multivitamin. Tidak sedikit orang yang mengalami gagal ginjal, atau pembusukkan usus hanya doyan pada minuman untuk menambah stamina, ‘kelancaran’ otak, atau peningkat hormon pria/wanit.
Jika, Hilal baru kapok setelah dua kali ususnya dipotong, apakah kita juga menunggu kejadian tragis baru kapok?
Cukuplah derita Hilal menjadi pelajaran kita semua. Semoga dengan memetik pelajaran dari Hilal, ia mendapat kesembuhan yang cepat. Dan bagi Anda yang ingin membantu Hilal, mungkin dapat mengontak Redaksi Tabloid Nova di (021) 5330150, 5330170 atau admin@tabloidnova.com.
Terima kasih.
No comments:
Post a Comment